Rabu, 20 November 2013

Terlena dengan Kekayaan

Medium atau sebab untuk meraih kesadaran dan pertobatan memang amat beragam. Misalnya, seseorang baru sadar jika ditimpa penyakit akut lalu sembuh, mengalami kecelakaan maut lantas selamat, bertemu dengan seseorang yang piawai dalam menyentuh tali jiwanya, karena perjalanan usia, atau lantaran mimpi

Terkadang, sebab itu datang sendiri menyelinap ke dalam hati seseorang yang dikehendaki Allah. (QS al-Qashash: 56). Maka berbahagialah mereka yang bisa mereguk kesadaran ini sebelum ajal tiba.

Memunculkan kesadaran akan Allah dan akhirat, hakikatnya memang hak prerogatif Allah. Di samping ia juga merupakan medan mujahadah seseorang. Beragam ujian seringkali menjadi dinding tebal untuk sampai kepadanya. 

Selain kemiskinan, kekayaan juga merupakan perangkap yang kerap meninabobokan seseorang sehingga mereka terlena dalam kemaksiatan.

Ketika banyak orang dan tokoh high class terperosok dalam jurang kemaksiatan, seraya melupakan Allah dan Hari Akhir— seperti ramai diberitakan,—gambaran di atas mengajarkan hal penting. 

Bagaimana keturunan Bani Hasyim yang berada dalam gemerlapnya kekayaan ini telah mengambil keputusan yang amat menentukan perjalanan hidupnya.

Hal ini jelas tak mudah, karena orang yang tidur itu tak sadar jika dirinya bermimpi, kecuali sudah bangun. Demikian pula orang yang lalai terhadap akhirat; ia tidak menyadari akan apa yang sudah disia-siakan kecuali setelah kematian menjemputnya.

Menahan

Setiap orang orang pasti pernah merasakan

Ingin Buang Air Besar tapi ditahan akibatnya perut akan sakit, keluar keringat dingin
Ingin Kencing tapi ditahan akibatnya akan sakit kandung kemih, batu ginjal sampai sakit prostat
Ingin Batuk tapi ditahan akibanya tenggorokan akan makin gatal dan sakit
Apalagi kalau kalau lagi diare terbayang kalau sampai ditahan.

Efek sampingnya organ atau anggota tubuh yang lain langsung merasakan sakit, dampaknya langsung terasa dan kelihatan.

Apa bedanya dengan bila kita menahan yang INI

Kita ingin ber Zakat tapi ditahan nggak jadi karena sayang harta berkurang
Kita ingin ber Shodaqoh ditahan nggak jadi karena masih butuh harta kita
Kita ingin Sholat begitu ada Adzan panggilan Sholat ditahan karena sibuk bekerja

Mungkin efeknya tidak akan langsung dirasakan secara fisik oleh organ atau anggota tubuh kita.
Tapi efeknya hati atau kalbu kita makin rusak, Safety Box kebaikan kita di akherat makin lama makin kosong dan rusak karena tidak pernah diisi. Sedangkan Safety Box kejelekan kita di Akherat makin penuh.
Pada saatnya ditimbang akan ketahuan berat yang mana antara Safety Box tersebut.

Sekitar Bandung

Air Mata di Pusara Ibu

Saya pernah membaca buku berjudul Dam'ah 'ala Qabri Ummi (Air Mata di Pusara Ibu) yang ditulis Prof Shalih Al Ayid. Penulis buku ini sejak kecil ditinggal wafat ayahnya dan dibesarkan ibunya. Perjuangan ibu dan pengorbanan untuk anak-anaknya sangat berkesan di hati anak. Ketika ibunya wafat, ia benar-benar sedih. 

Maka, beliau menulis buku tersebut untuk mengenang dan mengungkapkan perasaan sedihnya, mengingatkan besarnya jasa ibu, dan menghibur dirinya agar sabar, ikhlas, pasrah, dan tawakal kepada Allah SWT. 

Prof Al Ayid berkata dalam buku itu, “Sesungguhnya doa ibu tidak mungkin meleset. Ibuku-semoga Allah merahmatinya-selalu ridha terhadap anak-anaknya dan sangat mencintai mereka. Ibuku selalu berdoa memohon kebaikan untuk anak-anaknya di setiap waktu. Berdoa dengan hati yang bersih tanpa ada dendam dan kebencian. Karena itu, saya melihat segala kemudahan dalam segala urusanku adalah hasil dari doa beliau secara nyata dan tidak ada keraguan sedikitpun. Berapa banyak pintu kebaikan terbuka untukku dengan tidak disangka-sangka dan berapa banyak tipu daya orang-orang yang iri dan dengki menjadi runtuh karena karunia Allah disebabkan doa ibuku yang dikabulkan-Nya.”

Prof Muhammad Mukhtar Syinqithi, pengajar di Masjid Nabawi dan dosen di Islamic University, Madinah, memiliki kisah lain. Ia rutin mengajar hadis dan fikih di Masjid Malik Su'ud, Jeddah. Kajian berlangsung setiap pekan, antara Maghrib hingga Isya. Setelah azan Isya dan sebelum iqamat, ada tanya jawab selama 20 menit. 

Suatu kali, pernah beliau datang dari Madinah ke Jeddah hanya menyampaikan pengajian sekitar 15 menit saja. Ibunya sakit. Beliau tadinya ingin meliburkan pengajian untuk mendampingi dan merawat ibunya, tetapi ibunya memerintahkan dia agar tetap mengajar di Jeddah. Karena patuh kepada sang ibu, ia berangkat ke Jeddah. 

Tapi, ia mengajar hanya 15 menit lalu pulang lagi ke Madinah. Perjalanan pulang pergi 900 km hanya untuk mengajar 15 menit! Sebulan kemudian, ibunya wafat-semoga Allah merahmatinya-dalam keadaan ridha kepada anaknya. Mengapa Ibu? Berbakti kepada ibu bapak wajib hukumnya. Berbuat baik ke ibu tiga kali besarnya dari berbuat baik ke ayah. Kedudukan ibu sangatlah mulia. 

Kita prihatin sekali jika mendengar sebagian dari anak-anak remaja dan pemuda berani berkata dengan suara lebih keras kepada ibunya. Membantah, memarahi, bahkan menyakiti ibu dengan ucapan maupun perbuatan.

Mohonlah maaf kepada ibu, mintalah ridha dan doanya. Jangan sampai terjadi, ibu kita wafat dalam keadaan kita durhaka kepadanya dan kita belum sempat minta maaf kepadanya.

Sering kita baru merasakan betapa besar nikmat Allah saat nikmat itu dicabut dari kita. Kita merasakan betapa besar nikmat sehat setelah kita sakit, nikmat keamanan setelah datangnya kekacauan, nikmat keutamaan seorang guru setelah kita kehilangannya, nikmat keberadaan orang tua setelah wafatnya. Sungguh beruntung seorang anak yang dapat melihat kedua orang tuanya pagi dan petang.
Sungguh beruntung seorang anak yang masih memiliki kedua orang tua atau salah satunya. Sungguh beruntung seorang anak yang dibutuhkan oleh kedua orang tua atau salah satunya. Sungguh beruntung seorang anak yang mendapatkan taufik Allah untuk berbakti kepada orang tuanya.


by. Fariq Gasim Anuz

Selasa, 19 November 2013

Akhirnya Dia Kembali

Sejak kecil dia dimanja oleh kakeknya. Apapun permintaan sang cucu dikabulkan. Setelah sang kakek meninggal, dia mengalami goncangan, terutama karena bapaknya sangat keras dan disiplin.

Permintaannya lebih banyak ditolak daripada dikabulkan. Mulailah dia mencuri, mula-mula hanya mengambil uang kas di toko milik bapaknya. Tatkala pengawasan kotak uang di toko diperketat, mulailah dia mencuri di tempat lain.

Bapaknya marah luar biasa. Akibatnya sang anak mulai menjauh dari bapaknya. Jika bapak datang ke rumah, sang anak langsung pergi. Lama-lama sang anak juga menjauh dari seluruh anggota keluarga. Jadilah dia anak jalanan.

Berpuluh tahun lamanya sang anak tidak diketahui keberadaannya. Sampai pada suatu hari, ada yang melihatnya di suatu kota besar yang penuh hiruk pikuk.

Sang anak sudah berubah menjadi seorang pemuda bertubuh tegap, di lehernya teruntai kalung emas yang cukup besar. Di jari tangannya ada dua batu permata yang menonjol. Secara ekonomi, sepertinya dia cukup eksis.
Tetapi sayang, hidupnya bergelimang dosa. Keluarga, terutama ibunya membujuknya untuk kembali pulang ke rumah, bergabung dengan keluarga.

Dia memang mau pulang ke rumah, sekadar melepaskan kerinduan kepada ibu dan adik serta kakaknya. Kepada sang bapak, sepertinya dia menyimpan dendam. Jika bapaknya datang, dia langsung pergi.

Tentu saja ibu dan saudara-saudaranya selalu berusaha mengingatkan dan membujuknya untuk bertaubat, kembali ke jalan yang benar:  mencari rezeki yang halal, menegakkan shalat dan meninggalkan perbuatan maksiat.

Tetapi sepertinya hatinya sudah tertutup. Semua nasehat masuk telinga kiri ke luar telinga kanan. Dia tetap jauh dari agama, bahkan semakin jauh.

Sampai berumur lebih empat puluh tahun dia belum juga bertobat. Apakah Allah sudah betul-betul menutup hatinya? Ternyata tidak.

Pada suatu hari saya dapat berita bahwa dia sudah bertobat. Bahkan sudah pergi ke Makkah melaksanakan ibadah haji dengan isterinya.

Sekarang dia sudah rajin shalat, bahkan tahajud. Untuk kehidupan sehari-hari, dia benar-benar sudah berbisnis yang halal. Saya jadi penasaran apa yang menyebabkan dia mau bertobat.

Dalam suatu  tugas ke daerah, kebetulan ke kota tempat dia berdomisili, saya sempatkan mengunjungi laki-laki yang sudah tobat itu. "Peristiwa apa yang menyebabkan Anda sadar?" Tanya saya tak sabar begitu ketemu.

Sambil senyum dia menjawab: "Rhoma Irama!" Jawabannya mengagetkan. "Ketemu langsung, apa melalui syair lagunya," sahut saya tidak sabar lagi. Dia ketawa. Kemudian meneruskan kisah pertobatannya.

"Rumah yang saya tempati sebelum ini berada dekat masjid. Setiap Subuh saya terbangun oleh suara azan." Rupanya  suara azan itulah yang diejeknya sebagai lagu Rhoma Irama.

"Sampai pada suatu Subuh", lanjutnya lagi, "setelah mendengar azan, tiba-tiba muncul keingingan untuk mengerjakan shalat. Masya Allah saya merasa nikmat dan tenang. Sejak itu saya tidak pernah berhenti mengerjakan shalat."

Begitulah jika Allah menghendaki, hati yang sudah tertutup, tiba-tiba terbuka kembali. Jangan pernah berputus asa dengan rahmat Allah SWT.

By
Prof Yunahar Ilyas

Haji

Dr Ali Syariati – seorang intelektual Iran yang pemikirannya banyak dijadikan referensi, dalam bukunya Hajj: Reflection on its Rituals memberikan refleksi bahwa Haji adalah sebuah “simbol”. Semakin dalam engkau menyelami lautan ini, semakin jauh engkau dari tepiannya. Haji adalah samudera tak bertepi. Makna haji itu sesuai dengan ‘pemaknaanmu’ sendiri. Jika ada yang mengaku paham keseluruhan makna haji, maka sesungguhnya ia tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang haji. Esensi ritual haji adalah evolusi eksistensial manusia menuju Allah. Haji merupakan drama simbolik dari filsafat penciptaan anak cucu Adam.

Refleksi Ali Syariati ini tidak berlebihan, karena banyak orang yang terjebak dengan gerakan ritual fisik dalam ibadah haji, tanpa mendalami pemaknaan bathin yang hakiki. Banyak orang menunaikan ibadah haji ke Mekkah, tapi mungkin tak meraih ma’rifat. Mereka bertawaf mengelilingi Ka’bah, tapi tak berjumpa dengan Tuhan. Mereka ber-sa’i penuh gairah, tapi tak menghayati makna pergulatan Siti Hajar berlari antara bukit Shafa dan Marwa untuk putra tercinta Ismail. Mereka mabit di Mina, namun tak meraih muhasabah diri yang teduh. Mereka berwukuf di terik Arafah sebagai puncak ritual ibadah haji, tapi tak meraih pembebasan diri selain berdoa dan menangis tersedu-sedu untuk kesaktian diri, mereka bahkan melempar jumrah dengan semangat dan ambisius, tapi tak pernah berani melempar setan yang bersarang dalam dirinya.

Semestinya para hujjaj itu bertemu atau napak tilas dengan nabi Ibrahim. Belajarlah kepada nabi yang disebut kekasih Allah itu. Nabi yang bertauhid setelah mengalami proses pencarian Tuhan yang demikian panjang. Nabi yang berserah diri secara total ketika diminta mengurbankan putra tercintanya Ismail, padahal kehadiran sang anak telah dirindukannya demikian lama. Nabi yang beristrikan Siti Hajar seorang budak namun Ibrahim tetap penuh cinta kasih, dan tingkah lakunya dilambangkan dalam ibadah sa’i dalam rangka memperjuangkan kebutuhan putra terkasihnya Ismail, sebagai tanggung jawab seorang ibu. Nabi Ibrahim yang selalu mencintai kemakmuran rakyat dan negerinya melalui doanya yang muktabar: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri (Mekkah) ini aman sentosa dan hindarkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah berhala.” (QS. Ibrahim: 35)

Kita semua tahu bahwa mayoritas penduduk Indonesia ini beragama Islam, tapi berapa banyak yang Islamnya hanya sebatas ritual, bukan spiritual. Banyak di antara umat Islam yang rajin ke masjid, rajin mengaji, rajin puasa dan mengeluarkan zakat, namun hal itu baru sebatas ritual, sedangkan Islam spiritual akan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Apakah kita sudah merasa takut kepada Allah di manapun berada, sehingga kita tidak akan pernah melakukan perbuatan yang tidak baik, itulah makna ihsan, karena kita selalu merasa bahwa seluruh sepak terjang kita senantiasa dalam pengawasan Allah Swt. Apakah kita dengan segera membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah, selalu menjaga perasaan orang lain tatkala berbicara, selalu merendahkan diri dan tidak mengumbar kesombongan? Itu di antara bentuk Islam spiritual.