Selasa, 19 November 2013

Haji

Dr Ali Syariati – seorang intelektual Iran yang pemikirannya banyak dijadikan referensi, dalam bukunya Hajj: Reflection on its Rituals memberikan refleksi bahwa Haji adalah sebuah “simbol”. Semakin dalam engkau menyelami lautan ini, semakin jauh engkau dari tepiannya. Haji adalah samudera tak bertepi. Makna haji itu sesuai dengan ‘pemaknaanmu’ sendiri. Jika ada yang mengaku paham keseluruhan makna haji, maka sesungguhnya ia tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang haji. Esensi ritual haji adalah evolusi eksistensial manusia menuju Allah. Haji merupakan drama simbolik dari filsafat penciptaan anak cucu Adam.

Refleksi Ali Syariati ini tidak berlebihan, karena banyak orang yang terjebak dengan gerakan ritual fisik dalam ibadah haji, tanpa mendalami pemaknaan bathin yang hakiki. Banyak orang menunaikan ibadah haji ke Mekkah, tapi mungkin tak meraih ma’rifat. Mereka bertawaf mengelilingi Ka’bah, tapi tak berjumpa dengan Tuhan. Mereka ber-sa’i penuh gairah, tapi tak menghayati makna pergulatan Siti Hajar berlari antara bukit Shafa dan Marwa untuk putra tercinta Ismail. Mereka mabit di Mina, namun tak meraih muhasabah diri yang teduh. Mereka berwukuf di terik Arafah sebagai puncak ritual ibadah haji, tapi tak meraih pembebasan diri selain berdoa dan menangis tersedu-sedu untuk kesaktian diri, mereka bahkan melempar jumrah dengan semangat dan ambisius, tapi tak pernah berani melempar setan yang bersarang dalam dirinya.

Semestinya para hujjaj itu bertemu atau napak tilas dengan nabi Ibrahim. Belajarlah kepada nabi yang disebut kekasih Allah itu. Nabi yang bertauhid setelah mengalami proses pencarian Tuhan yang demikian panjang. Nabi yang berserah diri secara total ketika diminta mengurbankan putra tercintanya Ismail, padahal kehadiran sang anak telah dirindukannya demikian lama. Nabi yang beristrikan Siti Hajar seorang budak namun Ibrahim tetap penuh cinta kasih, dan tingkah lakunya dilambangkan dalam ibadah sa’i dalam rangka memperjuangkan kebutuhan putra terkasihnya Ismail, sebagai tanggung jawab seorang ibu. Nabi Ibrahim yang selalu mencintai kemakmuran rakyat dan negerinya melalui doanya yang muktabar: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri (Mekkah) ini aman sentosa dan hindarkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah berhala.” (QS. Ibrahim: 35)

Kita semua tahu bahwa mayoritas penduduk Indonesia ini beragama Islam, tapi berapa banyak yang Islamnya hanya sebatas ritual, bukan spiritual. Banyak di antara umat Islam yang rajin ke masjid, rajin mengaji, rajin puasa dan mengeluarkan zakat, namun hal itu baru sebatas ritual, sedangkan Islam spiritual akan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Apakah kita sudah merasa takut kepada Allah di manapun berada, sehingga kita tidak akan pernah melakukan perbuatan yang tidak baik, itulah makna ihsan, karena kita selalu merasa bahwa seluruh sepak terjang kita senantiasa dalam pengawasan Allah Swt. Apakah kita dengan segera membantu saudara-saudara kita yang terkena musibah, selalu menjaga perasaan orang lain tatkala berbicara, selalu merendahkan diri dan tidak mengumbar kesombongan? Itu di antara bentuk Islam spiritual.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar